Senin, 05 Januari 2015

KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peningkatan kualitas pendidikan adalah pilihan sekaligus orientasi pengembangan peradaban bangsa sebagai investasi masa depan pembangunan bangsa berjangka panjang. Orientasi ini mutlak dilakukan oleh karena pendidikan diyakini sebagai sarana utama pengembangan kualitas sumber daya manusia.
Dalam konteks itulah revitalisasi kebijakan pendidikan terus menjadi perhatian pemerintah. Salah satu bentuk revitalisasi itu ialah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan dari kebijakan yang semula sentralistik berubah menjadi desentralistik. Sebagai konsekuensi logis dari bentuk desentralisasi pendidikan ialah munculnya kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (school based management).
Dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah?
b.      Apa pentingnyanya pendidikan berkualitas?
c.       Apa kualtias pendidikan yang direncanakan?
d.      Bagaimana strategi peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan mbs?
e.       Apa sajakah prinsip-prinsip manajemen peningkatan mutu sekolah?
f.       Bagaimana perencanaan strategi mutu pendidikan?
g.      Bagaimana analisis kelebihan dan kelemahan mbs?
h.      Bagimana implementasi kebijakannya?


C.    Tujuan Makalah
a.       Dapat mengetahui Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
b.      Dapat mengetahui Perlunya Pendidikan Berkualitas
c.       Dapat mengetahui Kualtias Pendidikan yang direncanakan
d.      Dapat mengetahui Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
e.       Dapat mengetahui Prinsip-Prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
f.       Dapat mengetahui Perencanaan Strategi Mutu
g.      Dapat mengetahui Analisis Kelebihan dan Kelemahan
h.      Dapat mengetahui Implementasi Kebijakan














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
1.      Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan MPMBS
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari school based management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat.
MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Pada hakikatnya MBS merupakan pemberian otonomi kepada sekolah, untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Beberapa Negara juga telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah, misalnya seperti di Negara-Negara berikut ini:
·      Amerika Serikat, MBS disebut Side-Bised Management (SBM), yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak.
·      Kanada, MBS disebut School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah.
·      Hongkong, MBS disebut The School Management Intiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif.
·      Inggris yang disebut Grant Mainted School (GMS)  atau manajemen dana swakelola pada tingkat local.
·      Indonesia juga telah memperkenalkan manajemen berbasis sekolah sejak tahun 1997/1998. Model MBS di Indonesia juga bisa disebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mulai diterapkan sejak tahun 1998.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan semua stakeholder sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) juga dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Secara operasional MPMBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan.
2.      Karakteristik MPMBS
Menurut Levavic dalam Bafadal terdapat tiga karakteristik kunci MPMBS, yaitu sebagai berikut:
·         Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakeholder sekolah.
·         Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
·         Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Karakteristik manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah secara inklusif memuat elemen-elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi;input, proses dan output. Selanjutnya yang dikategorikan menjadi input, output dan proses yaitu;
·         Input (masukan), Secara umum input sekolah meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran, manajemen, sumberdaya manusia, dan lainnya.
·         Proses, meliputi proses belajar mengajar, kepemimpinan, lingkungan sekolah, pengelolaan tenaga kependidikan, sekolah memilki budaya mutu, sekolah memilki tem work yang kompak, sekolah memilki kewenangan, partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat, sekolah memilki transparansi manajemen, sekolah memiliki kemauan untuk berubah, melakukan evaluasi secara berkelanjutan, sekolah responsive, memiliki komunikasi yang baik, memiliki akuntabilitas, dan kemampuan menjaga sustainabilitas.
·         Output adalah prestasi yang diraih sekolah akibat dari proses belajar mengajar dan manajemen sekolah, baik berupa prestasi akademik maupun non akademik.
3.      Tujuan dan faktor yang mendorong penerapan MPMBS
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk  :
·         Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
·         Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
·         Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
·         Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000). MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.
MPMBS diterapakan karena beberapa factor diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
·         Sekolah lebih mengetahui kebutuhan, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
·         Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
·         Keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
·         Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya, sehingga akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dna mencapai sasaran mutu pendidikna yang telah direncanakan. (Dikmenum, 2001).

B.     Perlunya Pendidikan Berkualitas
Definisi tentang kualitas selalu terkait dengan produk. Yang menjadi pertanyana selanjutnya adalah apakah produk pendidikan itu? Pertanyaan itu penting untuk diajukan karena untuk mengetahui pendidikan itu berkualtias atau tidak maka kita perlu tahu produk pendidikan itu sendiri? Pendidikan itu adalah jasa atau pelayanan (service) dan bukan produksi barang. Pemahaman karakteristik kualtias jasa lebih sulit untuk didefinisikan daripada kualtias produk fisik.
Dalam konsep relatif kualitas pendidikan biasanya diukur dari sisi pelanggannya baik pelanggan internal maupun eksternal. Namun, berdasarkan perkembangan paradigma baru pendidikan, kualtias pendidikan seharusnya juga diukur dari sisi pelanggan internal yang tak lain adalha kepala sekolah, guru, tenaga kepdndidikan lain hingga pegawai tata usaha sekalipun.
Ada suatu pendapat yang memfokuskan pada pealnggan eksternal primer, yaitu peserta didikk bahwa pendidikan berkualtias adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi: pertama, pembelajaran sepanjang hayat, kedua, komunitkaotr yang baik dalam bahasa nasional dan itnernasional, ketiga, berketrampilan teknologi untuk lalapangan kerja dankehidupan sehari-hari, keempat, siap secara kognitif untuk pekerjaan yang kompleks, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, kelima, menjadi warga negara yang bertanggung jawab secara sosial, politik, dan budaya.
Dari sudut pandangn internal tentu saja pendidikan berkualtias adalah yang memungkinkan tenaga pengajar dan staf lainnya mampu berkembang baik secara fisik maupun psikis. Berkembang secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial dan kesejahteraan hidup secar alayak, sedangkan perkembangn secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk teurs belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat, dan kreativitasnya. Tenaga pengajar dan staf juga akan merasa puas bila suasana kerja atau budaya kerja disekolah mendukung.
Untuk mencapai pendidikan yang berkualtias di negeri ini menghadapi banyak kendala: pertama, akuntabiltias dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah karena terlalu kuatnya dominasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro penyelenggaraan pendidikan. Kedua, penggunaan sumber daya tidak optimal dan tidak efisien dikarenakan rendahnya anggaran pendidikan dan sistem pengelolaan anggaran yang terpusat. Ketiga, partisipasi masyarakat yang masih rendah padahal secara historis peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan di Indonesia sangat besar. Keempat, sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya, speerti perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dengan cepat.

C.    Kualtias Pendidikan yang direncanakan
Pendidikan adalah jasa sehingga kontrol sebelum pelayanan diberikan kepada pengguna akhir harus menjadi perhatian utama. Untuk menghasilkan pendidikan berkualtias maka program pendidikan harus dipersiapkan secara baik. Oleh karena itu, sistem pendidikan ktia harus direformasi secara besar-besaran baik dari perencanana, pelaksanaan, penilaian dan lain-lain.
Terdapat beberapa kondisi yang diperlukan untuk suksesnya perencanaan pendidikan, yaitu (1) adanya komitmen politik padaperencanaan pendidikan, (2) perencanaan pendidikan harus tahu betul apa yang menjadi hak, tugas dan tanggung jawabnya, (3) harus ada perbedaan yang tegas, antara area politis, teknis, dan administratif pada perencanaan pendidikan, (4) perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk membuat keputusan politis dan teknis, (5) perhatian lebih ebsar ddiberikan pada pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah, (6) tugas utama prencanaan pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan alternatif teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politi pendidikan, (7) harus mengurangi politisasi pengetahuan, (8) harus berusaha lebih ebsar untuk mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan, (9) administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan dalam perencanaan pendidikan, dan (10) ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah-swasta-universitas yang memegang otoritas pendidikan.
Selain itu, terdapat dua strategi penting dalam perencanaan pendidikan, yaitu (1) Penetapan target, dan (2) penetapan prioritas. Menyangikut strategi kedua ini terdapat nema area kiritas yang harus dipertimbangkan, yaitu pilian antara tingkat pendidikan, pilihan antara kuantitas dan kualitas, pilihan antara ilu pengetahuan dan teknologi dengan pengetahuan budaya, pilihan antara pendidikan formal dan pelatihan nonformal, pilihan tetang insentif serta piliahn tetang tujuan pendidikan.

D.    Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
1.      Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2.      Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3.      Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4.      Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1.      Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
  1. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
  2. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
  3. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
  4. Bekerja dengan tim manajemen
  5. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya:
a)      Mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun administrasi.
b)      Melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose,
c)      Memerlukan partisipasi semua fihak : kepala sekolah, guru, staf administrasi, orang tua, siswa dan pakar.

E.     Prinsip-Prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip, diantaranya:
  1. Peningkatan mutu harus dilaksanakan di sekolah.
  2. Peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
  3. Peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif
  4. Peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
  5. Peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon Kepala sekolah: 2000).
Adapun penyusunan program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control. Berdasarkan Panduan   Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai berikut:
a.       School Review
Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
·         Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa sendiri?
·         Bagaimana prestasi siswa ?
·         Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
·         Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
b.      Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah:
·         Seberapa baik kondisi kita?
·         Harus menjadi seberapa baik?
·         Bagaimana untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1.      Tentukan focus
2.      Tentukan aspek/variabel atau indicator
3.      Tentukan standar
4.       Tentukan gap (kesenjangan) yang terjadi.
5.      Bandingkan standar dengan kita
6.      Rencanakan target untuk mencapai standar
7.      Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target.
c.       Quality Assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada monitoring yang berkesinambungan dan melembaga menjadi sub sistem sekolah.
d.      Quality Control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas out mput yang tidak sesuai dengan standar Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan dan pasti sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.

F.     Perencanaan Strategi Mutu Pendidikan
Strategi adalah rencana yang menyangkut hal-hal yang pervasive, vital, dan atau secara terus menerus penting dalam organisasi (Sharplin dalam Sonhadji, 2003). Perencanaan ini biasanya bersifat luas dan jangka panjang. Perencanaan strategi disebut juga formulasi strategi.
Perencanaan strategi dalam hal ini terdapat 5 langkah pokok, yaitu: (1) perumusan misi (mission determination), (2) asesmen lingkungan eksternal (environmental external assessment), (3) asesmen organisasi (organizational assessment), (4) perumusan tujuan khusus (objective setting), dan (5) penentuan strategi (strategy setting).

G.    Analisis Kelebihan dan Kelemahan
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, MBS mempunyai kelebihan, yaitu:
1.      Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2.      Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
3.      Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4.      Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
5.      Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
6.      Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Dengan kelebihan-kelebihan di atas tentunya memajemen ini juga mempunyai sisi kelemahan dalam pelaksanaannya, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu.
2.      Penerapan MBS di sekolah di banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel).
3.      Sikap mental para pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak karena “perintah” atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin sebaliknya, terkadang tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
4.      Kepala sekolahnya masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik. Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang demikian ini tidak memberdayakan  potensi sekolah.
5.      Dalam manajemen mutu pendidikan adalah terkadang tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.

H.    Implementasi Kebijakan
Peningkatan mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial para kepala sekolah. Sekolah perlu berkembang maju dari tahun ke tahun. Karena itu, hubungan baik antarguru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dna menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan kreativitas, disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam kerangka inilah dirasakan perlunya implementasi MBS.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan MPMBS di sekolah itu melalui:
1.      Penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif , akurat, valid, dan sistematis.
2.      Melakukan evaluasi diri, menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh komponen sekolah.
3.      Mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi misi dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri.
4.      Menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi misi dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan.
5.      Mengimplementasikan program kerja.
6.      Melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan; dan
7.      Menyusun program lanjutan (untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.
Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana telah diuraikan di atas, esensinya adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekwensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Paling tidak, proses menuju MPMBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Pertama, perlu perubahan aturan main formal (peraturan perundang-undangan/hukum-hukum pendidikan/ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik). Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang perlu diubah, dari yang semula menempatkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonomis dan mendudukannya sebagai unit utama.
Kedua, kebiasaan berperilaku unsur-unsur sekolah perlu diubah, karena MPMBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang mandiri, proaktif, kooperatif, kreatif, luwes, dan professional.
Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (penganut) perlu diubah menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini merupakan konsekwensi dari perubahan peraturan perundang-undangan dan hukum-hukum pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dsb.
Keempat, hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antar sekolah dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Propinsi perlu diubah. Hubungan yang semula bersifat komando dan direktif, perlu diubah menjadi hubungan yang bersifat koordinatif dan fasilitatif. Tentu saja perubahan hubungan antar unsur-unsur tersebut juga tergantung perubahan peraturan perundang-undangan dan hukum-hukum pendidikan.
Dilandasi oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai pelaksanaannya tersebut di atas, maka berikut ini  beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang sifatnya masih “umum” dan “luwes”. Sekolah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian pentahapan tersebut sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing, maka untuk pelaksanaan MPMBS setidaknya diperlukan tahapan sebagai berikut:
1.      Melakukan Sosialisasi
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MPMBS keseluruh unsur sekolah (guru,siswa, wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, semiloka, diskusi, rapat kerja, symposium, forum ilmiah, dan media masa. Dalam melakukan sosialisasi MPMBS, yang penting dilakukan adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MPMBS disekolahnya.
2.      Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah yang diharapkan dimasa mendatang. Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan). Output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
3.      Merumuskan Tujuan Situasional/Tujuan Jangka Pendek (Sasaran) Sekolah
Tujuan situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang nyata dihadapi oleh sekolah. Berdasarkan tantangan yang nyata, maka dirumuskanlah tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan pengertian dan dasar-dasar perhitungan perumusan sasaran sekolah. Karena itu, setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah, sebelum merumuskan sasaran yang akan dicapai. Tujuan situasional sering juga disebut tujuan jangka pendek/sasaran.
4.      Melakukan Analisis SWOT
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam analisis SWOT adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, meliputi: proses belajar mengajar, perencanaan instruksional, manajemen personalia, pengelolaan uang, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, dan pengembangan fasilitas.
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah kedua adalah menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dari hasil analisis SWOT, kemudian langkah selanjutnya adalah memilih langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang  sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
5.      Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan  sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
6.      Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua peserta didik, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
7.      Melakukan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir semester untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada satu semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program
8.      Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)  dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan.






DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar