BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan kualitas pendidikan adalah
pilihan sekaligus orientasi pengembangan peradaban bangsa sebagai investasi
masa depan pembangunan bangsa berjangka panjang. Orientasi ini mutlak dilakukan
oleh karena pendidikan diyakini sebagai sarana utama pengembangan kualitas
sumber daya manusia.
Dalam konteks itulah revitalisasi
kebijakan pendidikan terus menjadi perhatian pemerintah. Salah satu bentuk
revitalisasi itu ialah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan dari kebijakan
yang semula sentralistik berubah menjadi desentralistik. Sebagai konsekuensi
logis dari bentuk desentralisasi pendidikan ialah munculnya kebijakan
pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (school based management).
Dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis
sekolah tersebut diasumsikan kualitas pendidikan dapat ditingkatkan dan juga
peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di tingkat mikro
(sekolah) akan lebih meningkat.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa
konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah?
b. Apa pentingnyanya pendidikan
berkualitas?
c. Apa kualtias pendidikan yang
direncanakan?
d. Bagaimana strategi
peningkatan mutu pendidikan melalui penerapan mbs?
e. Apa sajakah prinsip-prinsip manajemen peningkatan mutu
sekolah?
f. Bagaimana perencanaan strategi mutu pendidikan?
g.
Bagaimana
analisis kelebihan dan kelemahan mbs?
h.
Bagimana
implementasi kebijakannya?
C. Tujuan Makalah
a.
Dapat mengetahui Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah
b. Dapat
mengetahui Perlunya Pendidikan Berkualitas
c. Dapat
mengetahui Kualtias Pendidikan yang direncanakan
d. Dapat
mengetahui Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
e. Dapat
mengetahui Prinsip-Prinsip
Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
f. Dapat
mengetahui Perencanaan Strategi
Mutu
g.
Dapat mengetahui Analisis Kelebihan dan Kelemahan
h.
Dapat mengetahui Implementasi Kebijakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep
Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
1.
Pengertian Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) dan MPMBS
Istilah
manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari school based
management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat.
MBS
merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan
kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan
pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Pada
hakikatnya MBS merupakan pemberian otonomi kepada sekolah, untuk secara aktif
serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu
pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Beberapa
Negara juga telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah, misalnya seperti di
Negara-Negara berikut ini:
·
Amerika Serikat, MBS
disebut Side-Bised Management (SBM), yang menekankan partisipasi dari berbagai
pihak.
·
Kanada, MBS disebut
School-Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada
tingkat sekolah.
·
Hongkong, MBS disebut The
School Management Intiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif.
·
Inggris yang disebut Grant
Mainted School (GMS) atau manajemen dana swakelola pada tingkat local.
·
Indonesia juga telah
memperkenalkan manajemen berbasis sekolah sejak tahun 1997/1998. Model MBS di
Indonesia juga bisa disebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), yang mulai diterapkan sejak tahun 1998.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada
peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan,
dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan semua stakeholder sekolah.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) juga dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk
melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu
sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional. Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan
pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Secara operasional MPMBS dapat didefinisikan
sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah
bersama semua pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan.
2.
Karakteristik
MPMBS
Menurut Levavic dalam Bafadal terdapat tiga
karakteristik kunci MPMBS, yaitu sebagai berikut:
·
Kekuasaan
dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan peningkatan
mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakeholder sekolah.
·
Domain
manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan
prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum.
·
Walaupun
keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke
sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi
control pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab
sekolah.
Karakteristik
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah secara inklusif memuat
elemen-elemen sekolah efektif yang dikategorikan menjadi;input, proses dan
output. Selanjutnya yang dikategorikan menjadi input, output dan proses yaitu;
·
Input
(masukan), Secara umum input sekolah meliputi: visi, misi, tujuan, sasaran, manajemen,
sumberdaya manusia, dan lainnya.
·
Proses,
meliputi proses belajar mengajar, kepemimpinan, lingkungan sekolah, pengelolaan
tenaga kependidikan, sekolah memilki budaya mutu, sekolah memilki tem work yang
kompak, sekolah memilki kewenangan, partisipasi yang tinggi dari warga sekolah
dan masyarakat, sekolah memilki transparansi manajemen, sekolah memiliki
kemauan untuk berubah, melakukan evaluasi secara berkelanjutan, sekolah
responsive, memiliki komunikasi yang baik, memiliki akuntabilitas, dan kemampuan
menjaga sustainabilitas.
·
Output
adalah prestasi yang diraih sekolah akibat dari proses belajar mengajar dan
manajemen sekolah, baik berupa prestasi akademik maupun non akademik.
3. Tujuan dan faktor yang mendorong penerapan MPMBS
MPMBS
bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih
rincinya, MPMBS bertujuan untuk :
·
Meningkatkan
mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi,
keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah
dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
·
Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama.
·
Meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya.
·
Meningkatkan
kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Menurut
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000). MPMBS bertujuan untuk
memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan,
dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah.
MPMBS
diterapakan karena beberapa factor diantaranya adalah sebagai berikut:
·
Sekolah
lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman bagi dirinya sehingga
dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya.
·
Sekolah
lebih mengetahui kebutuhan, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan
dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan peserta didik.
·
Pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi
sekolahnya.
·
Keterlibatan
warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat.
·
Sekolah
dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya, sehingga akan
berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dna mencapai sasaran mutu
pendidikna yang telah direncanakan. (Dikmenum, 2001).
B.
Perlunya
Pendidikan Berkualitas
Definisi tentang
kualitas selalu terkait dengan produk. Yang menjadi pertanyana selanjutnya
adalah apakah produk pendidikan itu? Pertanyaan itu penting untuk diajukan
karena untuk mengetahui pendidikan itu berkualtias atau tidak maka kita perlu
tahu produk pendidikan itu sendiri? Pendidikan itu adalah jasa atau pelayanan (service) dan bukan produksi barang.
Pemahaman karakteristik kualtias jasa lebih sulit untuk didefinisikan daripada
kualtias produk fisik.
Dalam konsep relatif
kualitas pendidikan biasanya diukur dari sisi pelanggannya baik pelanggan
internal maupun eksternal. Namun, berdasarkan perkembangan paradigma baru
pendidikan, kualtias pendidikan seharusnya juga diukur dari sisi pelanggan
internal yang tak lain adalha kepala sekolah, guru, tenaga kepdndidikan lain
hingga pegawai tata usaha sekalipun.
Ada suatu pendapat
yang memfokuskan pada pealnggan eksternal primer, yaitu peserta didikk bahwa
pendidikan berkualtias adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
menjadi: pertama, pembelajaran
sepanjang hayat, kedua, komunitkaotr yang baik dalam bahasa nasional dan
itnernasional, ketiga, berketrampilan teknologi untuk lalapangan kerja dankehidupan
sehari-hari, keempat, siap secara kognitif untuk pekerjaan yang kompleks,
pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, kelima, menjadi warga negara yang
bertanggung jawab secara sosial, politik, dan budaya.
Dari sudut pandangn
internal tentu saja pendidikan berkualtias adalah yang memungkinkan tenaga
pengajar dan staf lainnya mampu berkembang baik secara fisik maupun psikis.
Berkembang secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial dan
kesejahteraan hidup secar alayak, sedangkan perkembangn secara psikis adalah
bila mereka diberi kesempatan untuk teurs belajar dan mengembangkan kemampuan,
bakat, dan kreativitasnya. Tenaga pengajar dan staf juga akan merasa puas bila
suasana kerja atau budaya kerja disekolah mendukung.
Untuk mencapai pendidikan
yang berkualtias di negeri ini menghadapi banyak kendala: pertama, akuntabiltias dalam
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah karena terlalu
kuatnya dominasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro penyelenggaraan
pendidikan. Kedua, penggunaan sumber daya tidak optimal dan tidak efisien
dikarenakan rendahnya anggaran pendidikan dan sistem pengelolaan anggaran yang
terpusat. Ketiga, partisipasi masyarakat yang masih rendah padahal secara
historis peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan di Indonesia
sangat besar. Keempat, sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di
lingkungannya, speerti perubahan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terjadi dengan cepat.
C.
Kualtias
Pendidikan yang direncanakan
Pendidikan adalah jasa sehingga kontrol sebelum
pelayanan diberikan kepada pengguna akhir harus menjadi perhatian utama. Untuk
menghasilkan pendidikan berkualtias maka program pendidikan harus dipersiapkan
secara baik. Oleh karena itu, sistem pendidikan ktia harus direformasi secara
besar-besaran baik dari perencanana, pelaksanaan, penilaian dan lain-lain.
Terdapat beberapa kondisi yang diperlukan untuk
suksesnya perencanaan pendidikan, yaitu (1) adanya komitmen politik
padaperencanaan pendidikan, (2) perencanaan pendidikan harus tahu betul apa
yang menjadi hak, tugas dan tanggung jawabnya, (3) harus ada perbedaan yang
tegas, antara area politis, teknis, dan administratif pada perencanaan
pendidikan, (4) perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk
membuat keputusan politis dan teknis, (5) perhatian lebih ebsar ddiberikan pada
pengembangan kebijakan dan prioritas pendidikan yang terarah, (6) tugas utama
prencanaan pendidikan adalah pengembangan secara terarah dan memberikan
alternatif teknis sebagai sarana untuk mencapai tujuan politi pendidikan, (7)
harus mengurangi politisasi pengetahuan, (8) harus berusaha lebih ebsar untuk
mengetahui opini publik terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan,
(9) administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan-perubahan
dalam perencanaan pendidikan, dan (10) ketika pemerintah tidak menguasai lagi
semua aspek pendidikan maka harus lebih diupayakan kerja sama yang saling
menguntungkan antara pemerintah-swasta-universitas yang memegang otoritas
pendidikan.
Selain itu, terdapat dua strategi penting dalam
perencanaan pendidikan, yaitu (1) Penetapan target, dan (2) penetapan
prioritas. Menyangikut strategi kedua ini terdapat nema area kiritas yang harus
dipertimbangkan, yaitu pilian antara tingkat pendidikan, pilihan antara
kuantitas dan kualitas, pilihan antara ilu pengetahuan dan teknologi dengan
pengetahuan budaya, pilihan antara pendidikan formal dan pelatihan nonformal,
pilihan tetang insentif serta piliahn tetang tujuan pendidikan.
D.
Strategi
Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan
kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan.
Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan
mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang
kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga
sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran
kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.
”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if
school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang
demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE)
merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara
insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan
sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat
tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan
evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu
melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS
di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah.
Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan
pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa
pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata
dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kepemimpinan kepala
sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan
proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
- Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
- Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
- Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
- Bekerja dengan tim manajemen
- Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Manajemen peningkatan
mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah
itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan
data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk
secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah
guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu
yang selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya:
a) Mengendalikan proses yang berlangsung di sekolah baik
kurikuler maupun administrasi.
b) Melibatkan proses diagnose dan proses tindakan untuk
menindak lanjuti diagnose,
c) Memerlukan partisipasi semua fihak : kepala sekolah,
guru, staf administrasi, orang tua, siswa dan pakar.
E.
Prinsip-Prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Berdasarkan pengertian di atas dapat difahami bahwa
Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip, diantaranya:
- Peningkatan mutu harus dilaksanakan di sekolah.
- Peningkatan mutu hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
- Peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif
- Peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
- Peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa, orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon Kepala sekolah: 2000).
Adapun penyusunan
program peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review, b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control. Berdasarkan
Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan sebagai
berikut:
a. School Review
Suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja
sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional (ahli) untuk
mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan.
School review dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
·
Apakah
yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa
sendiri?
·
Bagaimana
prestasi siswa ?
·
Faktor
apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
·
Apakah
faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review
akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan dan
prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan program tahun mendatang.
b. Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target
yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok
ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan dijawab oleh benchmarking adalah:
·
Seberapa
baik kondisi kita?
·
Harus
menjadi seberapa baik?
·
Bagaimana
untuk mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah
yang dilakukan adalah:
1. Tentukan focus
2. Tentukan aspek/variabel atau indicator
3. Tentukan standar
4. Tentukan gap
(kesenjangan) yang terjadi.
5. Bandingkan standar dengan kita
6. Rencanakan target untuk mencapai standar
7. Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target.
c. Quality Assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan
telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat
dideteksi adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada
monitoring yang berkesinambungan dan melembaga menjadi sub sistem sekolah.
d. Quality Control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan
kualitas out mput yang tidak sesuai dengan standar Quality control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan dan
pasti sehingga dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
F.
Perencanaan Strategi Mutu Pendidikan
Strategi adalah rencana yang menyangkut hal-hal yang
pervasive, vital, dan atau secara terus menerus penting dalam organisasi
(Sharplin dalam Sonhadji, 2003). Perencanaan ini biasanya bersifat luas dan
jangka panjang. Perencanaan strategi disebut juga formulasi strategi.
Perencanaan strategi dalam hal ini terdapat 5 langkah
pokok, yaitu: (1) perumusan misi (mission
determination), (2) asesmen lingkungan eksternal (environmental external assessment),
(3) asesmen organisasi (organizational
assessment), (4) perumusan tujuan khusus (objective setting), dan (5) penentuan strategi (strategy setting).
G. Analisis
Kelebihan dan Kelemahan
MBS
memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat
tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi
setempat, MBS mempunyai kelebihan, yaitu:
1.
Memungkinkan
orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
2.
Memberi
peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
3.
Mendorong
munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4.
Mengarahkan
kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di
setiap sekolah.
5.
Menghasilkan
rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari
keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program
sekolah.
Dengan kelebihan-kelebihan di atas tentunya memajemen ini
juga mempunyai sisi kelemahan dalam pelaksanaannya, yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Penerapan MBS juga
mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil
(remote areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang
tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan
hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang
hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan,
dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk
membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan
otonomi kepada sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap
untuk menerima semua itu.
2.
Penerapan MBS di sekolah di
banyak negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan
yang memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah
daerah yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip
manajemen modern (demokratis, transparan, dan akuntabel).
3.
Sikap mental para
pengelola pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin
bergerak karena “perintah” atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang
memimpin sebaliknya, terkadang tidak memberi kepercayaan, tidak
memberi kebebasan berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
4.
Kepala sekolahnya
masih cenderung manampilkan gaya kepemimpinan otoriter, hal ini karena lemahnya
kemandirian sekolah akibat pembinaan pemerintah yang sangat sentralistik.
Birokratik, formalistik, konformistik, uniformistik dan mekanistik. Pembinaan yang
demikian ini tidak memberdayakan potensi sekolah.
5.
Dalam manajemen mutu
pendidikan adalah terkadang tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi
program. Hampir semua program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun
tindak lanjutnya tidak dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan
selanjutnya tidak ditandai oleh peningkatan mutu.
H. Implementasi
Kebijakan
Peningkatan
mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial para kepala sekolah.
Sekolah perlu berkembang maju dari tahun ke tahun. Karena itu, hubungan baik
antarguru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif
dna menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen
sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan
kreativitas, disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam kerangka
inilah dirasakan perlunya implementasi MBS.
Menurut
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan MPMBS di
sekolah itu melalui:
1.
Penyusunan data dan profil
sekolah yang komprehensif , akurat, valid, dan sistematis.
2.
Melakukan evaluasi diri,
menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh komponen sekolah.
3.
Mengidentifikasi kebutuhan
sekolah, merumuskan visi misi dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan
bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri.
4.
Menyusun program kerja
jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi misi dan tujuan yang telah
dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan.
5.
Mengimplementasikan program
kerja.
6.
Melakukan monitoring dan
evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan; dan
7.
Menyusun program lanjutan
(untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.
Konsep
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana telah diuraikan
di atas, esensinya adalah otonomi sekolah plus pengambilan keputusan secara
partisipatif. Konsep ini membawa konsekwensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah
sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian
cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik”
(cara melaksanakan MPMBS yang cenderung konformitas untuk semua sekolah). Oleh
karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS
yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis
pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan
proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua
pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan.
Paling tidak, proses menuju MPMBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Pertama,
perlu perubahan aturan main formal (peraturan perundang-undangan/hukum-hukum
pendidikan/ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik). Peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang perlu diubah, dari yang semula menempatkan
sekolah sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat
marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonomis dan mendudukannya sebagai unit
utama.
Kedua,
kebiasaan berperilaku unsur-unsur sekolah perlu diubah, karena MPMBS menuntut
kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang mandiri, proaktif, kooperatif, kreatif,
luwes, dan professional.
Ketiga,
peran sekolah yang selama ini biasa diatur (penganut) perlu diubah menjadi
sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini
merupakan konsekwensi dari perubahan peraturan perundang-undangan dan
hukum-hukum pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
menteri, peraturan daerah, dsb.
Keempat,
hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antar sekolah dengan Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Propinsi perlu diubah. Hubungan yang semula
bersifat komando dan direktif, perlu diubah menjadi hubungan yang bersifat
koordinatif dan fasilitatif. Tentu saja perubahan hubungan antar unsur-unsur
tersebut juga tergantung perubahan peraturan perundang-undangan dan hukum-hukum
pendidikan.
Dilandasi
oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai pelaksanaannya tersebut di
atas, maka berikut ini beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang
sifatnya masih “umum” dan “luwes”. Sekolah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian
pentahapan tersebut sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing, maka untuk
pelaksanaan MPMBS setidaknya diperlukan tahapan sebagai berikut:
1.
Melakukan Sosialisasi
Langkah
pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MPMBS
keseluruh unsur sekolah (guru,siswa, wakil kepala sekolah, konselor, karyawan
dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, pejabat Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui
berbagai mekanisme, misalnya seminar, semiloka, diskusi, rapat kerja,
symposium, forum ilmiah, dan media masa. Dalam melakukan sosialisasi MPMBS,
yang penting dilakukan adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MPMBS
disekolahnya.
2.
Mengidentifikasi Tantangan
Nyata Sekolah
Pada
tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa
identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah
selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah
yang diharapkan dimasa mendatang. Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output
sekolah saat ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya)
di masa yang akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas,
produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
3.
Merumuskan Tujuan
Situasional/Tujuan Jangka Pendek (Sasaran) Sekolah
Tujuan
situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang
nyata dihadapi oleh sekolah. Berdasarkan tantangan yang nyata, maka
dirumuskanlah tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun
sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah,
namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan
tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan pengertian dan
dasar-dasar perhitungan perumusan sasaran sekolah. Karena itu, setiap sekolah
harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah, sebelum merumuskan sasaran yang
akan dicapai. Tujuan situasional sering juga disebut tujuan jangka
pendek/sasaran.
4.
Melakukan Analisis SWOT
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam analisis SWOT
adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai
tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, meliputi: proses belajar mengajar,
perencanaan instruksional, manajemen personalia, pengelolaan uang, pengembangan
siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat,
dan pengembangan fasilitas.
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk
mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah kedua adalah menentukan tingkat
kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength,
Weaknes, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali
tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan
untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dari hasil analisis SWOT,
kemudian langkah selanjutnya adalah memilih langkah-langkah pemecahan persoalan
(peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi
yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang
sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah
ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu
dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan
fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan,
yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman,
agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya
satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
5.
Menyusun Rencana dan
Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut,
sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka
pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan
rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk
memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala
prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang
diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan
sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumberdaya manusia dan
sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan,
perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal waktu dan menunjukkan
tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk dokumen untuk
menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
6.
Melaksanakan Rencana
Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan
yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua peserta didik, dan
masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya
mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin,
menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan
menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan
program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari
keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat
penyelenggaraan pendidikan.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah
perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan
mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin
pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan,
dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang
tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian,
bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat
terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai
sasaran.
7.
Melakukan Evaluasi
Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah
perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir semester untuk
mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada
satu semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka
sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester berikutnya.
Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui
seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan
program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Dalam melaksanakan
evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat
dalam program
8.
Merumuskan Sasaran Mutu
Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna
untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun
yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan
orangtua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan
datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan
kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap
seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan
kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan,
karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan
yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah
sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui
tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS) dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk
melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan
mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional. Oleh karena itu, esensi MPMBS adalah otonomi sekolah dan pengambilan
keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Pelaksanaan
MPMBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya
keberbagaian cara melaksanakan MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan
“nomotetik” (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung konformitas untuk semua
sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep
pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu
hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan
mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and
quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus
dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan
persekolahan.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar